Salah
satu dongeng paling populer, sehingga dulu waktu saya masih kecil, saya sangat
membenci Bawang Merah karena perlakuan jahat nya kepada saudara tirinya si
Bawang Putih. Dan tentu saja saya meng-idolakan si Bawang Putih yang lemah lugu itu.
Sampai
sekarang pun saya juga tidak tahu mengapa mereka ber-marga sama [Bawang] padahal mereka tidak ada
hubungan darah dan mengapa dalam judul-judul selalu Bawang Merah yang di tempatkan di depan. Tentu saja sebelum
imajinasi liar saya berputar-putar.
Garis besar dongeng ini adalah keluarga si
Bawang Putih dan sang ayah, minus sang ibu. Karena sang ibu tidak pernah di
ceritakan, ada 2 kemungkinan tentang si ibu Bawang Putih bahwa sang ibu dan
ayah bercerai atau bisa juga sang ibu sudah meninggal saat Bawang Putih masih
kecil.
Sepertinya
yang terpopuler adalah sang ibu meninggal saat Bawang Putih masih kecil sehingga
dia hanya di besarkan oleh ayahnya yang adalah seorang saudagar atau pedagang.
Bawang Putih sejak kecil hidup berkecukupan karena ayahnya seorang saudagar
yang berhasil.
Sebagai
seorang gadis kecil dan selalu di tinggal di rumah oleh ayahnya saat berdagang,
Bawang Putih tidak tahu bahwa ayahnya [mungkin] sudah jatuh cinta lagi dengan
seorang wanita. Pasti wanita yang sering di temuinya dalam perjalanan
dagangnya, mungkin penjual kain atau penjual minuman?
Setiap
kali sang ayah pulang, pasti membawakan Bawang Putih beberapa buah tangan
seperti kalung yang indah, selendang cantik, boneka-boneka lucu, sendal yang
cantik dan banyak lagi.
Hingga
suatu hari ayahnya mengajaknya membicarakan sesuatu yang penting. “Anakku, ayah lihat engkau sudah tumbuh
semakin besar. Pasti engkau sangat merindukan ibumu.” Kata ayahnya.
“Tentu saja aku sangat merindukan
ibu ayah, tapi tidak apa-apa karena aku masih memilik ayah yang sangat
menyayangi aku.”
Jawab Bawang Putih seraya menggenggam tangan ayahnya yang sudah mulai berkeriput di makan usia.
“Begini putriku, apakah engkau
setuju bila ayahmu ini menikah lagi? Maksud ayah adalah agar ada yang menjagamu
di rumah sementara ayah pergi berdagang dan ada yang mengajarimu tentang tata
cara rumah tangga, tapi apabila engkau tidak berkenan tidak apa-apa. Ayah bisa
mengerti” kata
sang ayah.
Hati
Bawang Putih pasti lah sangat tidak setuju akan rencana ayahnya tapi dia pun
tahu, ayahnya butuh pendamping yang bisa di ajaknya berbagi suka duka. Bawang
Putih merasa bahwa dirinya saja sebagai putri ayahnya tidaklah cukup membuat
ayahnya bahagia. Dan ini membuatnya sedih, walaupun dengan senyuman yang
terkembang dia berkata kepada ayahnya ,” Ayah,
aku sangat senang dan setuju akan rencana ayah ini. Tentu saja aku setuju.
Kapan ayah akan membawa ibu baru ke rumah kita?”
“Anakku, bukan hanya ibu baru, tapi juga seorang
saudari baru, karena ibu baru mu itu sudah mempunyai seorang putri. Dia
seumuran dengan mu dan bernama Bawang Merah,” jelas ayahnya.
“Begitukah
ayah ? Ah akan sangat menyenangkan sekali mempunyai seorang ibu dan saudara,
pasti nanti kami akan cepat akrab. Aku akan berbagi kamar tidur dengan nya.
Kami akan bermain bersama, ke pasar bersama, mencuci baju di sungai bersama.
Sepertinya akan menyenangkan ayah,” kata Bawang Putih sambil tersenyum.
Kopi di
cangkir ayahnya sudah habis, demikian juga sebatang tembakau linting yang di
isapnya. Kemudian ayahnya pun berpamit akan tidur.
Sementara
itu, Bawang Putih belum sekalipun bisa terpejam. Pikiran dan imajinasinya
berkejaran tentang apa yang akan terjadi setelah hari ini. Bahkan hingga ayam
jago berkokok, dia belum sempat terpejam. Bawang Putih tidak bisa tidur malam
itu.
Keesokan
paginya, sang ayah berpamitan hendak berangkat berdagang sekalian mau menjemput
ibu tiri dan saudara tirinya. Sang ayah berpesan agar Bawang Putih membersihkan
rumah dan semua perlengkapan perabotan sebelum sang ayah pulang. Dan Bawang
Puth meng-iyakan permintaan ayahnya dengan wajah ceria.
Seminggu
berlalu setelah ayahnya pergi berdagang dan siang itu ayahnya pulang ke rumah
bersama 2 orang asing dan beberapa barang bawaan mereka. Andong yang mereka
tumpangi tampak sangat sesak.
Bawang
Putih menyongsong kedatangan mereka di depan rumah. Setelah ayahnya turun, di
lihatnya seorang wanita separuh baya, rambutnya di sanggul ke belakang,
wajahnya tirus dengan alis melengkung dan mata yang tajam. Perhiasan emas
menghiasi leher, tangan dan kakinya, sehingga tiap kali dia bergerak, terdengar
bunyi kemerincing. Kuku jari tangannya di biarkan panjang dan di hias dengan
semacam hena. Senyum nya mengembang dari bibir nya yang memakai pemulas bibir
tebal berwarna merah. Dia memakai kain berwarna cerah dan kerudung berwarna
senada. Sepertinya dia seorang wanita yang gemar bersolek.
“Sayang, kau pasti Bawang Putih, kau bahkan
jauh lebih cantik dari yang di ceritakan ayahmu,” demikian wanita itu
berkata sambil mengulurkan tangannya kepada Bawang Putih.
Agak
ragu, Bawang Putih menerima uluran tangan ibu tirinya. Genggaman tangan ibu
tirinya kuat dan bertenaga. Secepatnya Bawang Putih menarik tangan nya kembali.
Sebentar
kemudian, turunlah seorang anak perempuan seumuran dirinya, wajahnya mirip
sekali dengan ibunya, terutama matanya yang tajam. Rambutnya hitam terurai
panjang, alis nya tebal dan bermata agak kecil. Mulutnya cenderung turun ke
bawah sehingga seperti orang yang selalu cemberut.
Dia
memandang ibunya kemudian memandang Bawang Putih dengan tatapan tidak suka.
Pasti gara-gara anak ini, ibunya memutuskan pindah, menjauhi keluarga besarnya.
Dan dia pun harus berpisah dengan saudara-saudara nya yang lain, teman-teman
nya, terutama rumahnya tempat di mana dia di lahirkan dan di besarkan selama
ini. Ah betapa Bawang Merah membenci Bawang Putih karena sudah memporak-porandakan kehidupannya.
Sang
ayah pun kemudian mempersilahkan keduanya dan Bawang Putih untuk masuk ke
rumah, “Istriku, beristirahat lah dan kau
juga Bawang Merah. Ini rumah kalian sekarang, jadi tidak perlu
sungkan-sungkan,” kata sang ayah.
“Bawang Putih, ayo tunjukkan
kamar kepada ibu dan saudaramu,”
kata sang ayah sambil menggenggam tangan Bawang Putih.
Bwang
Putih mengangguk kemudian tersenyum kepada ayahnya. “Mari ibu, Bawang Merah, aku tunjukkan kamar supaya kalian bisa
beristirahat, biar nanti barang bawaan kalian di bawakan para pelayan kita”
kata Bawang Putih sambil tersenyum.
Rumah
keluarga Bawang Putih terbilang berukuran besar di desa mereka. Ada 6 kamar
tidur yang kalau di desa bernama “sentong” ada 2 lumbung padi dan 3 gudang
untuk menampung barang dagangan sang ayah, kandang sapi, kandang ayam dan juga
kebun sayur dan buah. Belum lagi kamar-kamar untuk para pelayan perempuan dan
laki-laki dan dapur yang sangat luas dan besar.
Bawang
Merah dan ibunya berjalan sambil mengagumi besar dan megahnya rumah tersebut.
Mereka saling tersenyum dan berpandangan mata penuh arti.
Siang
itu, para pembantu semua sibuk di dapur menyiapkan banyak hidangan untuk
menyambut nyonya rumah baru mereka, tentu saja sambil bergosip tidak tentu
arah. Ada yang bergosip tentang si ibu tiri bahwa dia dulu nya adalah seorang
pelacur. Ada yang bilang bahwa Bawang Merah tidak di ketahui siapa ayahnya dan
masih banyak lagi.
Percakapan
mereka berhenti saat Bawang Putih masuk dan menanyakan apakah semua hidangan
makan sudah siap. Dan mereka semua pun kembali giat bekerja.
Di ruang
makan, ayah, ibu tiri , Bawang Merah dan Bawang Putih sudah menunggu.
Satu-persatu hidangan kemudian di keluarkan dari dapur dan ayah mempersilahkan
mereka semua untuk memulai makan.
Ayah
mengambilkan sepotong ayam untuk Bawang Putih dan menaruhnya di piring. Bawang
Merah melirik sambil cemberut.
Sudah 3
bulan mereka semua tinggal bersama. Sebenarnya tidak banyak hal yang berubah
karena Bawang Putih dan ibu tiri serta Bawang Merah tidak terlalu akrab. Mereka
hanya berbicara seperlunya, itu pun kalau sang ayah ada di rumah. Kalau sang
ayah pergi berdagang, Bawang Putih lebih suka mengurung diri di kamarnya.
Dia
tidak suka kebisingan dan ibu tiri serta Bawang Merah sangat suka berteriak-teriak
saat memanggil para pelayan ataupun saat tertawa lepas. Sangat berbeda saat
sang ayah ada di rumah. Dan Bawang Putih sudah tahu mengapa. Dia bukan anak
perempuan yang bodoh.
Sudah
sebulan ini sang ayah tidak berdagang karena kesehatannya terganggu. Sering
demam dan badannya pun lemas. Saat Bawang Putih hendak membawanya ke tabib, ibu
tirinya tidak memperbolehkan dengan alasan dia yang akan menjaga dan merawat
suaminya.
Bawang
Putih tidak menemukan tanda bahwa ayahnya akan membaik bahkan sekarang ayahnya
selalu tidur dan seperti tidak sadar. Sementara itu banyak pembantu dan pelayan
yang mengundurkan diri karena mereka tidak di gaji dengan benar. Makin lama,
rumah mereka terlihat kotor dan berdebu, tidak ada pelayan yang membersihkan
rumah, kandang dan kebun mereka bahkan pakaian-pakaian mereka yang bersih sudah
habis karena tidak ada pelayan yang mencuci.
Hanya
pakaian Bawang Putih dan ayahnya yang selalu bersih karena Bawang Putih mencuci
sendiri bajunya dan baju ayahnya saat tahu bahwa para pelayannya berapamitan pergi.
Dia tidak bisa memaksa mereka tinggal karena tidak tahu juga harus membayar
gaji mereka dengan apa. Ahhhh, seandainya ayah sehat seperti dulu, pikirnya....
Pagi
itu, si ibu tiri dan Bawang Merah berteriak-teriak karena tidak menemukan lagi
pakaian bersih untuk mereka mandi. Sementara sang ayah, seperti orang tak
berdaya, tidak pernah terbangun walaupun untuk makan. Semakin hari tubuhnya
semakin melemah.
Si ibu
tiri pun menyuruh Bawang Merah untuk mencuci pakaian mereka di sungai, juga menyuruh Bawang Putih menemani nya.
Tetapi Bawang Merah tidak segera mengerjakan pekerjaan mencuci nya, dia duduk
malas-malasan sambil memandang arus sungai yang mengalir pelan.
Hari
sudah semakin siang, tak sabar, Bawang Putih kemudian mengerjakan semua cucian
itu. Wajahnya yang putih basah kuyup oleh keriangat dan terik siang matahari.
Dia berpikir, kalau terlalu sore baru selesai mencuci maka pakaian-pakaian ini
tidak akan kering.
Setelah
hari itu, si ibu tiri malah tiap hari menyuruh Bawang Putih untuk mencuci kan
pakaian mereka di sungai. Sementara Bawang Merah bermalas-malasan di rumah
sambil mencoba segala macam merk up yang di belikan ibunya.
Oiya, apakah
saya sudah ceritakan kalau sang ayah sudah meninggal ? Yah, kemungkinan besar
sang ayah di racun secara pelan-pelan lewat kopi yang tiap hari di minum nya.
Apakah racun sianida ? Saya rasa bukan karena berita-berita di TV itu menyebutkan,
sianida langsung membuat para korban tewas. Sementara sang ayah bisa bertahan
beberapa lama walaupun kondisinya payah. Pasti racun yang sama sekali berbeda
dengan sianida. Entah lah, hanya si ibu tiri yang tahu.
Kondisi
Bawang Putih semakin memprihatinkan semenjak ayahnya meninggal. Badannya yang
dulu berisi kini semakin kurus. Tubuh dan wajah putihnya sekarang agak
menghitam karena setiap hari harus ke sungai untuk mencuci dan mengerjakan
banyak pekerjaan rumah. Dia seperti babu di rumahnya sendiri. Pakaiannya banyak
yang compang camping karena tidak ada lagi baju ganti, semua perhiasan
peninggalan ayahnya pun sudah berpindah tangan ke ibu tiri nya.
Lalu
apakah dia menyesali nasibnya? Apakah dia kemudian menghujat ayahnya karena dia
menikah lagi dengan seorang monster bahkan 2 orang monster ?
Sama
sekali tidak, setiap minggu dia selalu mengunjungi pusara ayah dan ibu nya.
Mendoakan mereka dan meminta mereka memberikan nya kekuatan untuk melalui
segalanya. Raut muka dan emosi nya selalu tenang karena dia tahu bersama
kesulitan akan selalu ada kemudahan. Seperti kata-kata motivator terkenal di TV
itu.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dongeng ini
terus berlanjut dengan keadaan Bawang Putih yang bertambah buruk dan kejahatan
si ibu tiri dan saudara tiri nya yang semakin hari semakin bertambah jahat. Hingga
cerita ini berakhir pada kematian si ibu tiri dan Bawang Merah.
Tapi
ijinkan saya melihat dongeng/cerita ini dari sudut pandang yang berbeda dengan
apa yang sudah kita ketahui pada umumnya.
Menurut pemikiran saya, bahwa :
1.
Bawang
Merah dan Bawang Putih adalah orang yang sama. Seperti Superman dan Clark Kent,
salah satu dari mereka adalah si alter ego. Jadi rasanya mustahil memisahkan Bawang
Putih dari Bawang Merah, demikian pun sebaliknya.
2.
Setelah
istri pertamanya meninggal, tak tunggu waktu lama sang ayah menikah lagi dengan
“ibu tiri” dan kemudian “ada” Bawang Merah. Bawang Merah “ada” karena memang
sebelumnya dia sudah “ada” dalam rupa Bawang Putih.
3.
Dalam
dongeng ini, sifat dan temperamen Bawang Merah dan Bawang Putih adalah bersifat
kebalikan tetapi saling melengkapi. Seperti 2 sisi mata uang, mereka adalah
satu dengan 2 atau lebih sifat yang di tonjolkan.
4.
Mengapa
sang ayah meninggal ? Apakah di racuni oleh si ibu tiri ? Saya rasa tidak,
salah satu kemungkinan adalah ada masalah dalam hal perdagangan nya dan dia
depresi/stress. Stress yang akut bahkan bisa membuat seseorang sakit lalu
meninggal.
5.
Apakah
si ibu tiri adalah jahat karena ingin menguasai harta si Bawang Putih ? Saya
rasa dia berhak juga tinggal di rumah itu dan menerima bagian warisan karena
dia berstatus sebagai istri dari sang ayah. Apakah karena dia berhak lalu
menjadikan dia jahat? Tidak juga. Saya rasa opini pembaca selalu menyalahkan
seseorang yang di buat seperti seolah-olah jahat.
6.
Dan
di akhir cerita, si Bawang Putih menerima emas permata perhiasan karena
kebaikan hatinya, sedangkan Bawang Merah dan ibu tiri mati karena di gigit
hewan-hewan berbisa. Sepertinya tidak sepenuhnya seperti itu menurut saya.
Karena Bawang Merah dan Bawang Putih
adalah 1 dan kebaikan selalu menang, mereka tetaplah 1, hanya kadar sifat
keculasan, keegoisan dan ketamakan yang berkurang. Saya percaya si Bawang ini akhirnya menemukan siapa jati
dirinya sebenarnya dan hidup dengan tenang dan damai bersama ibu tirinya yang
sebenar nya juga adalah ibu kandung nya.
Bagaimana
menurut anda ? Mempunyai opini lain dari sudut pandang yang berbeda ?
Palangkaraya, 25 april 2016
**
Butuh beberapa hari untuk menyelesaikan esai/artikel ini. Karena ceritanya yang
terlalu sederhana sehingga agak sulit bagi saya untuk memandang cerita ini dari
sudut yang berbeda. Syukurlah, ide dan imajinasi terakhir datang sehingga
artikel ini bisa selesai. Saya mendapatkannya saat sedang makan
dan...Eureka...it’s done.
0 komentar